Refleksi Akhir Tahun 2019 Kajian Kejahatan Transnasional Korupsi, Narkotika dan Terorisme

Desember 26, 2019, oleh: superadmin

Pada hari ini Kamis, 26 Desember 2019 telah diselenggarakan konferensi pers refleksi akhir tahun 2019 dengan tema Kajian Kejahatan Transnasional Korupsi, Narkotika dan Terorisme di Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Pusat kajian Hukum Pidana dan Kriminologi membacakan isi dari press release.

 

Refleksi Akhir Tahun 2019

Kajian Kejahatan Transnasional Korupsi, Narkotika dan Terorisme

Oleh :

Peneliti Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi

Dr. Trisno Raharjo, S.H, M.Hum.| Heri Purwanto, S.H, M.H. | Laras Astuti, S.H, M.H.

 

Pengantar

Kejahatan transnasional atau kejahatan lintas negara, meliputi berbagai kejahatan yang dikaji adalah terkait Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Narkotiak dan Tindak Pidnaa Terorisme. Kajian dilaksanakan untuk melihat bagaimana pengaturan dan penegakan hukum yang dilakukan di Indonesia selama 2019. Pilihan dilakukan kepada tiga bentuk tindak pidana ini, karena pertama, adanya hubungan yang selalu disampaikan ketiga tindak pidana ini adalah Kejahatan Luar Biasa atau Extra Ordinary Crime, yang memerlukan cara-cara yang luar biasa untuk menanggulanginya, namun dalam proses penegakan hukumnya ditemukan cara pendekatan yang berbeda dalam menggunakan pendekatan yang luar biasa tersebut. Kedua, terdapat peristiwa yang menarik perhatian terkait ketiga tindak pidana tersebut, untuk tindak pidana korupsi adanya teror di awal tahun 2019 terhadap pimpinan KPK (2015-2019), serta dikeluarkannya UU No 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK, yang memperlemah proses penegakan hukum bagi tindak pidana korupsi oleh KPK; Tindak Pidana Narkotika, terbongkarnya jaringan internasional penyeleundupan Narkotika dan Munculnya kritikan terhadap Kinerja BNNP sampai memunculkan wacana pembubaran BNPP, serta untuk Tindak Pidana Terorisme, munculnya pengeboman terhadap kantor kepolisian di Medan, dan penusukan mantan Menkopolhukam Wiranto. Ketiga pengaturan yang masih belum tuntas terhadap ketiga tindak pidana tersebut dialam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan.

 

Metode Kajian

Kajian dilakukan dengan menggali data sekunder, yang diperoleh dari media massa, penelusuran dokumen resmi negara terkait penanganan, laporan kinerja, sistem informasi persidangan, informasi hunian pemasyarakatan serat informasi  kegiatan penangkapan, sampai persidangan.

 

Hasil Pengkajian

Kajian juga dilakukan terkait kewenangan koordinasi, pendanaan, keleluasaan bertindak. Serta faktor-faktor yang berhimpitan dalam penanganan perkara yang ada dan kemungkinan terjadinya.

 

Temuan dalam Kajian

Berapa personil yang menangani tindak pidana korupsi di KPK, kepolisian dan kejaksaan, tidak dapat diperoleh data yang cukup. Penyidik di KPK sampai dengan 23 April 2019 terdiri dari 117 Penyidik, Begitupula dengan data personil yang menangani tindak pidana terorisme meskipun tidak terdapat informasi yang akurat, personil Densus 88 AT diperkirakan sebanyak 400 personil (tidak dapat dipastikan semuanya berkapasitas sebagai penyidik) dan narkotika, untuk penanganan tindak pidana narkotika  berdasarkan informasi jumlah penyidik yang diperlukan untuk setiap propinsi setidaknya diperlukan  90 penyidik. Berdasarkan penelusuran tersebut ketiga tindak pidana tersebut tidak memiliki jumlah yang cukup dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap setiap kejadian pada masing-masing tindak pidana.

Berkaitan dengan dana yang digunakan selama tahun 2019 dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme, narkotika dan korupsi, diperoleh data sebagai berikut, untuk BNPT pagu anggaran untuk penindakan sebesar Rp 117.193.638.000, BNN pagu anggaran penindakan sebesar Rp 570.989.578.000 dan KPK pagu anggaran penindakan sebesar Rp 209.639.891.000 sedangkan data kepolisian untuk dana penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan indek tidak kurang dari Rp 200 juta sedangkan untuk penangan tindak pidana terorisme terdapat pagu anggaran sebesar Rp 2.759.323.435.000 dan untuk kejaksaan tidak dapat diperoleh informasi yang cukup, terkait kewenangan tindak pidana korupsi. Dari pagu anggaran tersebut tampak terdapat anggaran yang cukup baik dalam upaya penanggulangan dan penindakan tindak pidana terorisme pada kepolisian.

Berkenaan dengan penanganan perkara di pengadilan, korupsi dan narkotika tersebar di berbagai wilayah penegakan hukum sedangkan terorisme dipusatkan di daerah ibukota. Hanya terorisme yang memiliki nomenklatur sebagai tindak pidana keamanan negara. Terdapat persoalan berkenaan dengan kebijakan pemindahan tempat persidangan untuk terorisme karena penahanan dilakukan ditempat yang jauh dari keluarga.

Berkenaan penangkapan, KPK umumnya melakukan opersi tangkap tangan, namun tidak dilakukan oleh kepolisian ataupun kejaksaan selaku penyidik, dengan nama pengembangan perkara penangkapan dilakukan oleh densus 88.

Penyadapan KPK merupakan lembaga yang paling disorot melakukan penyadapan, sedangkan penyadapan juga dilakukan oleh densus 88 terkait penanganan tindak pidana terorisme.

Penggeledaha KPK tidak memerlukan izin, sedangkan densus 88 melakukan penggeledahan juga tanpa izin, dan penyitaan tanpa izin terlebih dahulu, memunculkan pertanyaan mengapa di KPK dipersulit sedangkan KUHAP  memungkinkan dilakukan penggeledahan dan penyitaan terlebih dulu. Tidak ada permohonan penggeledahan dan penyitaan yang ditolak oleh pengadilan. Sepanjang data yang telah dikumpulkan.

Pemidanaan, penjatuhan sanksi pada tindak pidana korupsi tergolong ringan rata-rata antara 2-3 tahun dan di tahun 2019 beberap terpidana kasus korupsi mengalami pengurangan hukuman berdasarkan pengajuan permohonan peninjaun kembali. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika sampai dengan 2019 terdapat 90 narapidana yang telah dipidana hukuman mati, sedangkan pada tindak pidana terorisme data sampai dengan 2019 menunjukkan terdapat 1 narapidan mati.

Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, penanganan tindak pidana terorisme yang banyak melakukan penangkapan tidak menunjukkan jumlah yang signifikan terhadap narapidana terorisme dan pengaruhnya terhadap jumlah penghuni lapas, angka yang cukup banyak terdapat dalam perkara korupsi dan yang menyumbang terbanyak adalah narapidana narkotika. Ketiga tindak pidana ini mengalami keterbatasan untuk dapat dibebaskan sesuai dengan ketentuan umum, terdapat syarat syarat khusus yang harus dipenuhi. Namun demikian terdapat perlakuan yang sangat berbeda antara narapidana terorisme dan narapidana korupsi. Terjadi pemenuhan kapasistas lembaga pemasyarakat terutama disebabkan banyaknya jumlah narapidana narkotika. PADA DESEMBER 2019 Jumlah Narapidana 267.912, dengan rincian, KORUPSI   : 4.037, TERORIS : 464, NARKOTIKA : 122.768, Jumlah Tahanan/Narapidana Terbanyak di Indonesia adalah Kasus Narkotika =  122.768 orang (45,8%), terdiri dari: Bandar/ Pengedar  = 49.264 orang Pengguna = 73.504 orang. Terdapat upaya pengurangan terhadap Narapidana Korupsi dan Narkotika dalam hal ini pengguna, namun tidak dengan Narapidana Terorisme.

Pengaaturan terkait RUU KUHP, ketiga undang undang dimasukkan sebagai tindak pidana khusus dalam RUU KUHP, dan masih memberikan ruang bagi lembaga khusus yng dibentuk untuk menangani tindak pidana terorisme, narkotika dan korupsi. Namun menjadi tidak jelas ketika dihubungkan dengan BNPT yang tidak memiliki kewenangan penindakan dibandingkan dengan KPK serta BNN. RUU Pemasyarakatan perlu memberikan ruang yang sama bagi proses reintegratif dengan memperhatikan pola pembinaan yang ada sesuai dengan karakteristik tindak pidana yang dilakukan.

 

Yogyakarta, 26 Desember 2019

Narahubung: Ridwan (089602960439)

Email : cclcs@umy.ac.id